riwayat nabi ibrahim

23.40 Edit This 0 Comments »
RIWAYAT NABI IBRAHIM

Nabi Ibrahim lahir di sebuah Gua di tengah kota oleh seorang wanita istri dari Aazar seorang pemahat patung / berhala terkenal di kampung Faddam Aram. Beliau dilahirkan di Gua oleh ibunya karena pada saat itu setiap bayi laki-laki yang lahir akan dibunuh oleh para pesuruh Raja Namrud dan setiap wanita yang hamil selalu diawasi karena suatu malam Raja itu bermimpi ada anak laki-laki mengambil mahkotanya dan Namrud takut kalau anak itu akan berpengaruh terhadap kekuasaannya, sehingga ia berharap dengan melakukan siasat itu dapat mengantisipasinya hal yang tak diinginkannya itu. Setelah Nabi Ibrahim lahir berumur tiga bulan, hanya sewaktu-waktu ibunya datang ke Gua untuk memberinya ASI agar tidak mencurigakan, bahkan terkadang berhari-hari ibunya tak datang ke Gua karena ada halangan. Namun ajaibnya Ibrahim kecil masih bisa bertahan, dan ternyata Ibrahim kecil bukan anak sembarangan. Tuhan ternyata melindunginya dan memberinya makan. Kalau haus atau lapar ia tak menangis namun Ibrahim kecil menghisap jempol tangannya. Maka dari jempol itu keluarlah air seperti madu rasanya.

Ketika berumur belasan tahun Ibrahim sudah mulai keluar dari Gua dan betapa takjubnya ia saat melihat alam raya. Ibrahim mulai bertanya-tanya dari mana asal matahari, bulan, langit yang biru dan lain-lain yang ia lihat. Ibrahim tak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan dari ibunya tentang pertanyaan-pertanyaannya itu. Beliau mencari sendiri jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Dan Allah memberi petunjukNya. Setelah mengetahui dari apa yang dicarinya ini, Beliau mulai mengajak para kaum di negeri itu untuk mengikutinya menyembah Allah dan bukan berhala. Namun sia-sia saja usahanya itu bahkan ayahnya yang berprofesi sebagai pemahat patung malah mengusirnya ketika Ibrahim mengajaknya ke jalan yang benar. Bahkan nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup oleh kaum Namrud atas perintah Rajanya itu. Namun atas kuasa Allah, Nabi Ibrahim tak terbakar walau sehelai rambutpun, bajupun tidak hanya tali yang mengikat kedua tangannya saja yang terbakar.

Nabi Ibrahim mempunyai dua orang istri bernama Sarah yang setia menemani Beliau berdakwah kemanapun dan yang kedua bernama Hajar dimana sesungguhnya Hajar itu hanya pemberian Raja Mesir untuk dijadikan sebagai pelayan Sarah. Namun lama-lama Sarah yang sudah tua yang sudah tak mampu lagi putra menyuruh Ibrahim menikahi Hajar. Atas petunjuk Allah, Ibrahim pun menikahi Hajar dan dari Hajar Beliau mendapatkan seorang putra yang diberi nama Ismail. Awalnya Sarah pun senang atas kelahiran Ismail. Ismail kecil jadi anak kesayangan mereka bertiga. Namun Sarah pun manusia yang mempunyai rasa cemburu karena setelah kemunculan Ismail, Ibrahim lebih banyak menghabiskan waktu bersama putranya itu. Akhirnya Sarah menyuruh Beliau untuk menyingkirkan Ismail dan Hajar dari pandangannya. Akhirnya diasingkanlah Ismail beserta ibunya di lembah tak berpenghuni. Allah memang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, di dalam keputus-asaan karena dikala air susunya sudah kering, mencari airpun tak jua didapatnya diutuslah Jibril oleh Allah untuk membantunya. Ketika Hajar pasrah kepada Tuhan karena kelelahan berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwa samapai tujuh kali, datang Jibril. Kemudian diajaknya Hajar ke suatu tempat, di sana Jibril menginjakkan kaki sekeras-kerasnya ke tanah dan bekasnya memancurlah air atas izin Allah. Air itu sekarang menjadi air Zam-zam. Lama-kelamaan daerah di mana Hajar dan Ismail tinggal itu makin ramai oleh penduduk.

Dan atas kuasa Tuhan oula di usia yang sudah tua Sarah dikaruniai seorang putra yang bernama Ishak. Ibrahim sangat gembira. Di saat itu pula beliau teringat pada putranya, Ismail. Kemudian Beliau meminta izin kepada Sarah untuk mengunjungi Ismail, dan Sarah mengizinkannya. Dan betapa kagetnya Ibrahim saat melihat keadaan daerah di mana dulu Beliau meninggalkan istri dan anaknya dalam kesunyian menjadi ramai dan padat penduduknya bahkan setiap orang sangat menghormati Hajar dan Ismail sebagai pemilik air Zam-zam tersebut. Betapa bahagianya Ibrahim bisa bertemu istri dan anknya setelah sekian lama berpisah. Kebahagiaannya itu harus dibayar dengan sebuah cobaan yang sangat besar. Suatu malam dalam tidurnya, Beliau bermimpi Beliau diperintahkan Tuhan untuk menyembelih putranya, Ismail sebagai qurban. Setelah terbangun dari tidurnya betapa bimbangnya hati Beliau, namun karena Ismail yang berbakti, setelah ayahnya mengutarakan mimpinya itu, Ismail bersedia disembelih ayahnya. Pagi harinya mereka berdua pergi ke sebuah bukit, Mina. Di sanalah akan dilaksanakan perintah Tuhan itu. Dalam perjalanannya mereka berdua diganggu / digoda setan untuk mengurungkan niatnya. Namun dilemparinya setan itu dengan batu. Ismail meminta pakaiannya dijadikan tutup kepalanya dan nanti supaya diberikan kepada ibunya sebagai kenangan. Setelah menyebut nama Tuhan Ibrahim lalu menancapkan pisaunya. Namun, pisau yang tajam itu seolah tak mampu memotong leher Ismail. Pada saat itu terdengar suara dari atas bukit, yang ternyata itu adalah Jibril. Atas ketaatannya itu maka Ismail digantikan domba untuk disembelih dan dagingnya dimakan dan sebagian diberikan pada fakir miskin. Dan diikutilah perbuatan Ismail dan Ibrahim oleh umat Islam. Orang yang menunaikan ibadah haji diwajibkan menyembelih hewan sebagai qurban. Hari itulah dinyatakan sebagai Hari Qurban atau Idul Adha.

Setelah peristiwa itu Ibrahim mendapat wahyu dari Tuhan untuk mendirikan rumah Allah bersama Ismail. Dijalankan tugas itu dengan gembira. Rumah Tuhan / Ka'bah itu dibangun tak jauh dari telaga Zam-zam.

Zakat, Infaq, dan Shodaqoh

23.36 Edit This 0 Comments »
Zakat, Infaq, dan Shodaqoh

Zakat menurut bahasa artinya adalah “berkembang” atau “pensucian”. Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah).

Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya”, berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)”, berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.

Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.

Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif –yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan– bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).

Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :

Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan. Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah. Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah. Namun seperti uraian Az Zuhaili, hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ :

“Al wasilatu ilal haram haram”

“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.

Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali dengan shadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :

“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”

“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”

Dalam kebiasaan para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.

Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat. Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)

Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :

“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.

Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.

Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.

Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.

Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).

Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.

Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.

Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91).

Walhasil, sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan :

“Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”

“Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).” (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151)

Namun demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)

Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.

PERBEDAAN WEB 1.0 DAN WEB 2.0

23.30 Edit This 0 Comments »
1. WEB 1.0
Adalah generasi pertama dari website di internet. Pada tipe ini pengunjung hanya dapat membaca konten yang ada di website tersebut. Contohnya membaca berita. Jadi web tipe ini terlihat seperti papan pengumuman di dunia maya. Seluruh konten yang menghiasi web itu sepenuhnya berada di tangan admin.

2. WEB 2.0
Merupakan pengembangan dari web 1.0. Tidak seperti web 1.0 yang penggunanya hanya dapat membaca konten yang ada di web itu. Pada tipe 2.0 ini pengguna diberi kebebasan untuk memberi komentar pada konten yang terdapat di web tersebut. Didalamnya terdapat guest book, polling, komentar dan sebagainya. Web ini lebih disenangi masyarakat karena seorang pengunjung dapat berinteraksi dengan pengunjung yang lainnya.

Sebenarnya tidak ada kesepakatan adanya versi dalam aplikasi web, namun untuk memudahkan pembahasan dan menandai munculnya perkembangan teknologi web, banyak praktisi yang memberi label Web 1.0 dan Web 2.0. Perbandingan di bawah ini dibuat dari berbagai sumber agar dapat menjelaskan perbedaan antara Web 1.0 dengan Web 2.0 dengan lebih sistematis.